Rangkuman Matematika SMP Kelas 2 1. Faktorisasi Bentuk Aljabar 1.1 Operasi Hitung pada Bentuk Aljabar
a (b + c) = ab + ac
a (b – c) = ab – ac
x (x + a) = x2 + ax
(x + a)(x + b) = x2 + bx + ax + ab
(4a)2 = 16 a2
1.2 Faktorisasi Bentuk Aljabar
x2 + bx + c = (x + p)(x + q),
dengan syarat c = p x q dan b= p + q
Contoh: x2 + 2x – 48 = (x + 8)(x – 6)
8x2 + 22x +15 = 4x + 5)(2x + 3) 1.3 Menyederhanakan Pecahan Aljabar Jikapembilang danpeny ebut suatu pecahan memiliki factor yang sama, maka pecahan tersebut dapat disederhanakan. Contoh: x2 + x – 6 = (x + 3)(x – 2) = x - 2 2x2 + 6 2x (x + 3) 2x 2. Relasi dan Fungsi Relasi antara dua himpunan dapat dinyatakan dengan diagram panah, diagram cartesius, dan himpunan pasangan berurutan. A terletak di B Toba Jawa Singkarak Poso Sumatera Maninjau Sulawesi Towuti Diagram Panah Sedangkan Fungsi adalah relasi khusus yang memasangkan setiap anggota A dengan tepat satu anggota B. A B a u A={a, b, c} disebut daerah asal (domain. b v B={u, v, w} disebut daerah kawan (kodomain) c w 2.1. Variabel Bebas dan Variabel Bergantung
Contoh:
y = f(x) = 2x -1
y = 2x – 1
Untuk x = -1, maka: y = 2(-1) – 1 = -3
Untuk x = 0, maka: y = 2(0) – 1 = -1
Untuk x = 1, maka: y = 2(1) – 1 = 1
Untuk x = 2, maka: y = 2(2) – 1 = 3
Untuk x = 3, maka: y = 2(3) – 1 = 5
Himpunan pasangan berurutan adalah: {(-1, -3)(0, -1)(1, 1)(2, 3)(3, 5)}
2.2. Menghitung Nilai Suatu Fungsi Contoh: Diketahui fungsi f:xà 3x – 1, Tentukan nilai fungsi untuk x = -3 dan x = 2. Jawab: f(-3) = 3(-3) – 1 = -9 – 1 = -10 f(2) = 3(2) – 1 = 5 Jadi Nilai fungsi untuk x = -3 adalah -10 dan untuk x = adalah 5 3. Persamaan Garis Lurus 3.1. Gradien atau Kemiringan Gradien garis AB = perubahan nilaiy = y2 – y1 perubahan nilaix x2 – x1
Contoh:
Tentukan gradien garis yang menghubungkan pasangan titik A(3,1) dan B(7,9)
Gradien garis AB = 1 – 9 = 2
3 -7 Gradien pada dua buah garis yang saling tegak lurus adalah -1. 3.2. Persamaan Garis Lurus
y – y1 = m(x – x1)
Contoh:
Tentukan persamaan garis yang melalui titik A(-2, 1) dan bergadien 3.
Jawab:
y – 1 = 3(x – (-2))
y – 1 = 3x + 6
y = 3x + 7
3.3. Hubungan Gradien dengan Persamaan Garis Lurus
Contoh:
Tentukan hubungan antara garis dengan persamaan 4y = 6x – 8 dengan
garis 2x + 3y = 6.
Jawab:
g1à y = 6x – 8
4 y =3/2x – 2………….m1 =3/2 g2à y = -2x + 6 3 y = -2/3x + 2…………. m2 = -2/3 m1 x m2 =3/2 x -2/3 = -1, maka garis 1 dan garis 2 berpotongan tegak lurus. 4. Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Sistem persamaan linear dua variabel dapat diselesaikan dengan metode grafik, metode substitusi dan metode eliminasi. Contoh penerapan sistem persamaan linear dengan dua variabel: Harga 2 baju dan 3 kaos adalah Rp 170.000, sedangkan harga 3 baju dan 1 kaos jenis yang sama adalah Rp 150.000. Tentukan harga sebuah baju dan harga sebuah kaos.
Jawab:
Harga 2 baju dan 3 kaos: 2x + 3y = 170.000
Harga 3 baju dan 1 kaos: 3x + 1y = 150.000
2x + 3y = 170.000 (x 1) 2x + 3y = 170.000
3x + 1y = 150.000 (x 3) 9x + 3y = 450.000 –
-7y =-280.000 y = 40.000
3x + 40.000 = 150.000
3x = 110.000
x = 36.666
Jadi harga sebuah baju = Rp 36.666 dan kaos = Rp 40.000.
5. Teorema Pythagoras Teorema Pythagoras menyatakan bahwa dalam segitiga ABC, jika >A siku-siku, maka a2 = b2 +c2. Dalam segitiga ABC berlaku hubungan panjang sisi terhadap jenis segitiga, yaitu: Jika a2 < b2 + c2, maka ABC adalah segitiga lancip di A Jika a2 > b2 + c2, maka ABC adalah segitiga tumpul di A. Contoh: Sebuah tangga yang panjangnya 5 m bersandar pada batang tiang listrik. Jarak ujung bawah tangga terhadap pangkal tiang listrik 3 m. Berapa tinggi ujung atas tangga dari permukaan tanah?
C BC2 = AC2 – AB2 5 = 52 - 32 = 16 A B BC =4m 6. Garis Pada Segitiga Rumus:
Luas segitiga = ½ x a x t
Keliling segitiga = a + b + c
7. Lingkaran Lingkaran adalah tempat kedudukan titik-titik pada suatu bidang yang berjarak sama terhadap pusat lingkaran.
Rumus:
Luas Lingkaran =22/7 x r x r
Keliling = 2 x22/7 x r
Contoh:
Diketahui sebuah luas lingkaran adalah 616 cm2. Hitung kelilingnya!
Jawab:
Luas Lingkaran =22/7 x r x r
616 =22/7 x r2
22 r2 = 616 x 7
22 r2 = 4312
r2 = 196
r = 14 cm
Keliling = 2 x22/7 x r = 2 x22/7 x 14 = 88cm.
8. Garis Singgung Lingkaran Garis singgung adalah sebuah garis yang ditarik pada sebuah titik yang ada pada keliling lingkaran. Garis singgung ini tidak memotong lingkaran. Garis singgung ini harus tegak lurus dengan jari-jari lingkaran. Dengan menggunakan Rumus Pythagoras, maka dapat dihitung jarak dari pusat lingkaran ke titik lain yang ada pada garis singgung tersebut. Contoh: Sebuah garis singgung sepanjang 20 cm menyinggung sebuah lingkaran yang jari- jarinya 14 cm. Hitung jarak pusat lingkaran dengan ujung garis yang lain. Jawab: G OH2 = OG2 + GH2 14 20 = 142 + 202 O = 196 + 400 H OH =√596 OH = 24,4 cm 3 9. Bangun Ruang Sisi Datar Jenis Bangun Datar Rumus 1. Segitiga
2. Bujursangkar
3. Persegi panjang
4. Trapesium
5. Belah ketupat & Layang-layang 6. Jajaran genjang Luas = ½ x alas x tinggi Keliling = sisi a + sisi b + sisi c Luas = sisi x sisi Keliling = 4 x sisi Luas = panjang x lebar Keliling = 2 x (panjang + lebar)
Luas = ½ x (a + b) x t
Luas = ½ x diagonal 1x diagonal 2
Luas = alas x tinggi
Jenis Bangun Ruang Rumus 7. Balok
8. Kubus
9. Limas
10. Prisma 11. Kerucut 12. Bola 13. Tabung Volume = panjang x lebar x tinggi
Volume = sisi x sisi x sisi
Volume =1/3 x luas alas x tinggi
Volume = luas alas x tinggi
Volume =1/3 x luas alas x tinggi
Volume =4/3 x∏ x r3 Volume = 2 x luas alas x selimut tabung = 2 x (∏.r2) x (2.∏.r x t)
Senin, 31 Mei 2010
Selasa, 25 Mei 2010
Hasil Raker Komisi II DPR RI dengan MenPAN dan RB
Menindaklanjuti hasil Rapat Dengar Pendapat Umum antara Komisi II DPR RI dengan perwakilan tenaga honorer Non APBN/APBD tanggal 9 Nopember 2009 maka pada hari Rabu 18 Nopember 2009 Komisi II DPR memanggil MenPAN & RB untuk membahas masalah reformasi birokrasi dan permasalahan tenaga honorer. Sebelumnya MenPAN telah mengirimkan Draf awal RPP tentang Seleksi Tenaga Honorer untuk Dapat Diangkat Menjadi CPNS dengan surat NO. B-1747/M.PAN/5/2009 tanggal 4 Mei 2009 kepada Komisi II untuk diberikan koreksi dan masukan penyempurnaan. Sebagai langkah tindak lanjutnya Kementrian PAN telah melakukan koordinasi dengan Depdiknas, Depag, Depdagri, Depkes, BKN dan BPS dan sepakat bahwa sebelum dilakukan penetapan kebijakan yang dituangkan dalam RPP tersebut perlu dilakukan langkah-langkah dengan tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan mapping permasalahan ( peta data jumlah dan jenis pekerjaan tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah baik instansi pusat maupun daerah ). Termasuk proses verifikasi dan validasi data tersebut pada tahun 2010. ( MenPAN telah mengirim surat ke BPS nomor : B/2738/M.PAN/9/2009 tanggal 7 September 2009 perihal verifikasi / validasi data tenaga honorer di Depag dan Depdiknas ). Anggaran untuk pendataan, verifikasi dan validasi data tahun 2010 hanya ada di Depdiknas dan Depag, sementara di Depkes, Depdagri, BPS, BKN belum memiliki anggaran tahun 2010.
2. Apabila target tahun 2010 proses pendataan nasional sudah dilakukan baru dapat dirumuskan kebijakan untuk menyelesaikan tenaga honorer tersebut, apakah dapat diangkat dalam RPP Seleksi yang disempurnakan ( bersama Komisi II ), atau melalui pendekatan kesejahteraan ( honorariumnya ditingkatkan )
Setelah diketahui jumlah yang pasti, baru dapat dirumuskan apakah tenaganya memenuhi kebutuhan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dan berapa lama diselesaikan ( Guru harus berijasah minimal S1/DIV dan mengajar minimal 24 jam per minggu, Tenaga Administrasi/Lainnya minimal SMA ). Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS juga sangat tergantung pada kemampuan keuangan negara untuk formasi PNS nasional. ( Sumber : Bahan Rapat Kerja Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan Komisi II DPR RI tanggal 18 Nopember 2009 ).
Hal tersebut di atas sama dengan jawaban SesmenPAN bapak Tasdik Kinanto pada waktu menerima perwakilan Tenaga Honorer Non APBN/APBD di kantor MenPAN tanggal 13 Maret 2009 yang lalu yaitu Tenaga Honorer akan didata dulu baru kemudian diseleksi ( dites sesama honorer ). Maka pada Raker tanggal 18 Nopember 2009 kemarin mayoritas fraksi-fraksi di Komisi II menolak Draft RPP yang diajukan Pemerintah karena ada beberapa pasal yang masih mendiskriminasi tenaga honorer. Untuk itu Komisi II DPR RI bersama Kementrian PAN dan RB sepakat untuk membentuk tim kecil untuk menyempurnakan pasal-pasal dalam RPP yang diajukan oleh Kementrian PAN dan RB yang akan bekerja kurang lebih 6 bulan, inipun menunggu hasil verifikasi dan validasi data di Depdiknas dan Depag. Dalam hal ini, Komisi II DPR meminta Menpan dan Reformasi Birokrasi menyusun skala prioritas penuntasan tenaga honorer berdasarkan tiga kategori, yakni tenaga honorer teranulir; tenaga honorer guru/non guru; dan tenaga honorer yang penghasilan pokoknya berasal dari APBN/APBD dan non APBN/APBD yang bekerja di instansi pemerintah. Agaknya harapan Tenaga Honorer Non APBN/APBD untuk dapat diangkat menjadi CPNS masih lama bahkan tantangannya semakin berat karena Pemerintah meminta beberapa syarat-syarat tertentu yang syarat tersebut tidak ada pada PP 48 Tahun 25 jo PP 43 Tahun 2007.
KOMISI II DESAK PEMERINTAH SELESAIKAN TENAGA HONORER
Komisi II DPR RI mendesak Pemerintah untuk segera menyelesaikan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Hal ini disampaikan saat menerima DPP Persatuan Honorer Sekolah Negeri se Indonesia, Senin (9/11) di gedung DPR.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo (F-PDIP) mengatakan bahwa Komisi II juga akan mendesak Pemerintah untuk segera mengeluarkan revisi PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS.
Ganjar menambahkan, jika Perwakilan guru honorer sudah mendapatkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tersebut, sebaiknya juga menyampaikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, pasal-pasal mana yang perlu dilakukan perubahan.
Masalah guru honorer yang belum diangkat menjadi CPNS menjadi keprihatinan di Komisi II. Namun bukan hanya guru honorer tapi juga tenaga-tenaga honorer yang lain.
Sebetulnya, kata Ganjar, Komisi II cukup concern memperjuangkan tenaga honorer. Hal ini dapat dilihat dari hasil rapat Komisi II periode lalu pada tanggal 20 Mei 2009, yang kesimpulannya diantaranya mengatakan bahwa perlu dipertimbangkan solusi untuk mengakomodir tenaga honorer yang berusia di atas 46 tahun.
Kesimpulan yang lain mengatakan, untuk menjamin objektivitas perlu dipertimbangkan pelaksanaan seleksi tertulis yang dilakukan oleh lembaga independent. Pertimbangan independent ini, berdasarkan pertimbangan jangan sampai terjadi karut marut yang terjadi di tubuh birokrasi.
Selain itu, perlu dipertimbangkan pemberian atau kompensasi bagi tenaga honorer yang belum lulus seleksi administrasi, namun mempunyai masa kerja puluhan tahun.
Untuk menjamin kepastian pengangkatan jumlah tenaga honorer, maka dalam draft RPP harus menegaskan bahwa tenaga honorer yang akan diselesaikan adalah yang tidak tertampung dalam PP 48 Tahun 2005 junto PP 43 Tahun 2007.
“Sikap DPR sangat jelas, tidak mencampuradukkan dengan formasi baru atau pendaftaran tenaga honorer baru,” kata Ganjar.
Ganjar menambahkan, Komisi II tanggal 18 November ini akan mengadakan rapat kerja dengan Menpan yang salah satu agendanya seratus hari Kementerian PAN termasuk didalamnya penuntasan pengangkatan tenaga honorer.
Mudah-mudahan permasalah tenaga honorer ini akan mendapatkan jawaban dan dapat dituntaskan pada rapat yang akan datang. Karena, kata Ganjar, sebetulnya permasalahan tenaga honorer ini harus sudah diselesaikan pada Okteober 2009.
Pada kesempatan tersebut, Didi Afriadi, guru honorer dari Jakarta meminta Komisi II agar segera mendesak Pemerintah untuk mengesahkann PP tentang Pengangkatan Tenaga Honorer tersebut.
Dia juga meminta agar Pemerintah meninjau kembali bunyi PP Pasal 2, 4, 6, 7 dan 8. Karena menurut Didi bunyi RPP tersebut belum mengakomodir kepentingan tenaga honorer yang akan diangkat menjadi CPNS.
( Sumber : http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi2/2009/nov/10/903/ )
Nasib Tenaga Honorer Non APBN/APBD
Perjuangan Tenaga Honorer Non APBN/APBD semakin berat. Draft RPP yang ditunggu-tunggu pun belum juga keluar. Padahal ribuan Tenaga Honorer Non APBN/APBN di seluruh Indonesia berharap Pemerintah memperhatikan nasib dan pengabdian mereka selama puluhan tahun. Mereka sudah menunggu selama 5 tahun ada revisi PP 48/2005 jo PP 43/2007, namun draft RPP yang sedang dibahas DPR bersama Pemerintah pun belum menemui titik temu ( kesepahaman ). Hal ini dikarenakan pemerintah memberikan syarat-syarat khusus untuk tenaga honorer yang ingin diangkat menjadi CPNS sedangkan DPR menginginkan Tenaga Honorer Non APBN/APBD diangkat sama seperti dalam PP 48/2005. Seperti kesimpulan hasil pertemuan perwakilan tenaga honorer dengan SesmenPAN Bpk. Tasdik Kinanto pada 13 Maret 2009 yang lalu dan hasil rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dengan MenPAN dan BKN tanggal 27 April 2009 & 20 Mei 2009, pemerintah memberikan syarat-syarat untuk Tenaga Honorer yang ingin diangkat menjadi CPNS. Syarat tersebut antara lain :
1.Harus lulus seleksi administrasi (tahun 2009) dan lulus ujian tertulis (tahun 2010);
2.Ijasah minimal SMA, khusus Guru Honorer minimal S1/D4 dan mengajar 24 jam;
3.Ujian tertulis hanya dilakukan satu kali dan untuk mengisi formasi tahun 2010 (formasi yang ada diperebutkan sesama honorer).
Jika pemerintah tetap memberlakukan syarat-syarat tesebut maka banyak Tenaga Honorer Non APBN/APBD yang tidak bisa terangkat menjadi CPNS dan berarti pengabdian mereka selama puluhan tahun menjadi sia-sia. Untuk itu marilah kita merapatkan barisan agar wakil-wakil rakyat di DPR berhasil memperjuangkan nasib Tenaga Honorer Non APBN/APBD dan Pemerintah terbuka mata hatinya agar memperhatikan cucuran keringat kita untuk negara Indonesia tercinta ini.
Menindaklanjuti hasil Rapat Dengar Pendapat Umum antara Komisi II DPR RI dengan perwakilan tenaga honorer Non APBN/APBD tanggal 9 Nopember 2009 maka pada hari Rabu 18 Nopember 2009 Komisi II DPR memanggil MenPAN & RB untuk membahas masalah reformasi birokrasi dan permasalahan tenaga honorer. Sebelumnya MenPAN telah mengirimkan Draf awal RPP tentang Seleksi Tenaga Honorer untuk Dapat Diangkat Menjadi CPNS dengan surat NO. B-1747/M.PAN/5/2009 tanggal 4 Mei 2009 kepada Komisi II untuk diberikan koreksi dan masukan penyempurnaan. Sebagai langkah tindak lanjutnya Kementrian PAN telah melakukan koordinasi dengan Depdiknas, Depag, Depdagri, Depkes, BKN dan BPS dan sepakat bahwa sebelum dilakukan penetapan kebijakan yang dituangkan dalam RPP tersebut perlu dilakukan langkah-langkah dengan tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan mapping permasalahan ( peta data jumlah dan jenis pekerjaan tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah baik instansi pusat maupun daerah ). Termasuk proses verifikasi dan validasi data tersebut pada tahun 2010. ( MenPAN telah mengirim surat ke BPS nomor : B/2738/M.PAN/9/2009 tanggal 7 September 2009 perihal verifikasi / validasi data tenaga honorer di Depag dan Depdiknas ). Anggaran untuk pendataan, verifikasi dan validasi data tahun 2010 hanya ada di Depdiknas dan Depag, sementara di Depkes, Depdagri, BPS, BKN belum memiliki anggaran tahun 2010.
2. Apabila target tahun 2010 proses pendataan nasional sudah dilakukan baru dapat dirumuskan kebijakan untuk menyelesaikan tenaga honorer tersebut, apakah dapat diangkat dalam RPP Seleksi yang disempurnakan ( bersama Komisi II ), atau melalui pendekatan kesejahteraan ( honorariumnya ditingkatkan )
Setelah diketahui jumlah yang pasti, baru dapat dirumuskan apakah tenaganya memenuhi kebutuhan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dan berapa lama diselesaikan ( Guru harus berijasah minimal S1/DIV dan mengajar minimal 24 jam per minggu, Tenaga Administrasi/Lainnya minimal SMA ). Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS juga sangat tergantung pada kemampuan keuangan negara untuk formasi PNS nasional. ( Sumber : Bahan Rapat Kerja Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan Komisi II DPR RI tanggal 18 Nopember 2009 ).
Hal tersebut di atas sama dengan jawaban SesmenPAN bapak Tasdik Kinanto pada waktu menerima perwakilan Tenaga Honorer Non APBN/APBD di kantor MenPAN tanggal 13 Maret 2009 yang lalu yaitu Tenaga Honorer akan didata dulu baru kemudian diseleksi ( dites sesama honorer ). Maka pada Raker tanggal 18 Nopember 2009 kemarin mayoritas fraksi-fraksi di Komisi II menolak Draft RPP yang diajukan Pemerintah karena ada beberapa pasal yang masih mendiskriminasi tenaga honorer. Untuk itu Komisi II DPR RI bersama Kementrian PAN dan RB sepakat untuk membentuk tim kecil untuk menyempurnakan pasal-pasal dalam RPP yang diajukan oleh Kementrian PAN dan RB yang akan bekerja kurang lebih 6 bulan, inipun menunggu hasil verifikasi dan validasi data di Depdiknas dan Depag. Dalam hal ini, Komisi II DPR meminta Menpan dan Reformasi Birokrasi menyusun skala prioritas penuntasan tenaga honorer berdasarkan tiga kategori, yakni tenaga honorer teranulir; tenaga honorer guru/non guru; dan tenaga honorer yang penghasilan pokoknya berasal dari APBN/APBD dan non APBN/APBD yang bekerja di instansi pemerintah. Agaknya harapan Tenaga Honorer Non APBN/APBD untuk dapat diangkat menjadi CPNS masih lama bahkan tantangannya semakin berat karena Pemerintah meminta beberapa syarat-syarat tertentu yang syarat tersebut tidak ada pada PP 48 Tahun 25 jo PP 43 Tahun 2007.
KOMISI II DESAK PEMERINTAH SELESAIKAN TENAGA HONORER
Komisi II DPR RI mendesak Pemerintah untuk segera menyelesaikan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Hal ini disampaikan saat menerima DPP Persatuan Honorer Sekolah Negeri se Indonesia, Senin (9/11) di gedung DPR.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo (F-PDIP) mengatakan bahwa Komisi II juga akan mendesak Pemerintah untuk segera mengeluarkan revisi PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS.
Ganjar menambahkan, jika Perwakilan guru honorer sudah mendapatkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tersebut, sebaiknya juga menyampaikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, pasal-pasal mana yang perlu dilakukan perubahan.
Masalah guru honorer yang belum diangkat menjadi CPNS menjadi keprihatinan di Komisi II. Namun bukan hanya guru honorer tapi juga tenaga-tenaga honorer yang lain.
Sebetulnya, kata Ganjar, Komisi II cukup concern memperjuangkan tenaga honorer. Hal ini dapat dilihat dari hasil rapat Komisi II periode lalu pada tanggal 20 Mei 2009, yang kesimpulannya diantaranya mengatakan bahwa perlu dipertimbangkan solusi untuk mengakomodir tenaga honorer yang berusia di atas 46 tahun.
Kesimpulan yang lain mengatakan, untuk menjamin objektivitas perlu dipertimbangkan pelaksanaan seleksi tertulis yang dilakukan oleh lembaga independent. Pertimbangan independent ini, berdasarkan pertimbangan jangan sampai terjadi karut marut yang terjadi di tubuh birokrasi.
Selain itu, perlu dipertimbangkan pemberian atau kompensasi bagi tenaga honorer yang belum lulus seleksi administrasi, namun mempunyai masa kerja puluhan tahun.
Untuk menjamin kepastian pengangkatan jumlah tenaga honorer, maka dalam draft RPP harus menegaskan bahwa tenaga honorer yang akan diselesaikan adalah yang tidak tertampung dalam PP 48 Tahun 2005 junto PP 43 Tahun 2007.
“Sikap DPR sangat jelas, tidak mencampuradukkan dengan formasi baru atau pendaftaran tenaga honorer baru,” kata Ganjar.
Ganjar menambahkan, Komisi II tanggal 18 November ini akan mengadakan rapat kerja dengan Menpan yang salah satu agendanya seratus hari Kementerian PAN termasuk didalamnya penuntasan pengangkatan tenaga honorer.
Mudah-mudahan permasalah tenaga honorer ini akan mendapatkan jawaban dan dapat dituntaskan pada rapat yang akan datang. Karena, kata Ganjar, sebetulnya permasalahan tenaga honorer ini harus sudah diselesaikan pada Okteober 2009.
Pada kesempatan tersebut, Didi Afriadi, guru honorer dari Jakarta meminta Komisi II agar segera mendesak Pemerintah untuk mengesahkann PP tentang Pengangkatan Tenaga Honorer tersebut.
Dia juga meminta agar Pemerintah meninjau kembali bunyi PP Pasal 2, 4, 6, 7 dan 8. Karena menurut Didi bunyi RPP tersebut belum mengakomodir kepentingan tenaga honorer yang akan diangkat menjadi CPNS.
( Sumber : http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi2/2009/nov/10/903/ )
Nasib Tenaga Honorer Non APBN/APBD
Perjuangan Tenaga Honorer Non APBN/APBD semakin berat. Draft RPP yang ditunggu-tunggu pun belum juga keluar. Padahal ribuan Tenaga Honorer Non APBN/APBN di seluruh Indonesia berharap Pemerintah memperhatikan nasib dan pengabdian mereka selama puluhan tahun. Mereka sudah menunggu selama 5 tahun ada revisi PP 48/2005 jo PP 43/2007, namun draft RPP yang sedang dibahas DPR bersama Pemerintah pun belum menemui titik temu ( kesepahaman ). Hal ini dikarenakan pemerintah memberikan syarat-syarat khusus untuk tenaga honorer yang ingin diangkat menjadi CPNS sedangkan DPR menginginkan Tenaga Honorer Non APBN/APBD diangkat sama seperti dalam PP 48/2005. Seperti kesimpulan hasil pertemuan perwakilan tenaga honorer dengan SesmenPAN Bpk. Tasdik Kinanto pada 13 Maret 2009 yang lalu dan hasil rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dengan MenPAN dan BKN tanggal 27 April 2009 & 20 Mei 2009, pemerintah memberikan syarat-syarat untuk Tenaga Honorer yang ingin diangkat menjadi CPNS. Syarat tersebut antara lain :
1.Harus lulus seleksi administrasi (tahun 2009) dan lulus ujian tertulis (tahun 2010);
2.Ijasah minimal SMA, khusus Guru Honorer minimal S1/D4 dan mengajar 24 jam;
3.Ujian tertulis hanya dilakukan satu kali dan untuk mengisi formasi tahun 2010 (formasi yang ada diperebutkan sesama honorer).
Jika pemerintah tetap memberlakukan syarat-syarat tesebut maka banyak Tenaga Honorer Non APBN/APBD yang tidak bisa terangkat menjadi CPNS dan berarti pengabdian mereka selama puluhan tahun menjadi sia-sia. Untuk itu marilah kita merapatkan barisan agar wakil-wakil rakyat di DPR berhasil memperjuangkan nasib Tenaga Honorer Non APBN/APBD dan Pemerintah terbuka mata hatinya agar memperhatikan cucuran keringat kita untuk negara Indonesia tercinta ini.
Jumat, 14 Mei 2010
MANFAAT BERCERITA
Selusin Manfaat Bercerita
ditulis pada 21 Oct 2009, 7:45 pm oleh Desri Susilawani
Dongeng merupakan sarana pendidikan yang paling mudah dan mengasyikan. Pada dasarnya anak-anak sangat menyukai cerita. Hal ini akan menjadi modal dasar yang sangat berarti. Dengan memilih cerita yang tepat dan bercerita dengan cara yang merebut hati anak, kita dapat menyelipkan berbagai informasi yang berguna untuk mendidik mereka.
Ada selusin manfaat membacakan cerita atau mendongeng untuk anak :
1.Menjadi fondasi dasar kemampuan berbahasa
2.Meningkatkan kemampuan komunikasi verbal
3.Meningkat kemampuan mendengar
4.Mengasah logika berpikir dan rasa ingin tahu
5.Menanamkan minat baca dan menjadi pintu gerbang menuju ilmu pengetahuan
6.Menambah wawasan
7.Mengembangkan imajinasi dan jiwa petualang
8.Mempererat ikatan batin orang tua dan anak
9.Meningkatkan kecerdasan emosional
10.Alat untuk menanamkan nilai moral, etika, dan membangun kepribadian
11.Menyelami berbagai budaya yang berbeda
12.Relaksasi jiwa
( Diambil dari materi workshop Read A Story di Erlangga Bandung)
Saya mengikuti workshop tentang bercerita itu di Erlangga Bandung sekitar bulan April 2009. Melihat begitu banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui cerita, saya jadi ingin tahu, apakah membaca cerita atau mendongeng masih menjadi kebiasaan orang tua sekarang?
Saya pun melakukan wawancara kecil-kecilan terhadap beberapa ibu yang sedang menunggui anaknya di TK. Hasinya, dari 10 orang tua ternyata 8 orang diantaranya mengaku sangat jarang (kalau tidak mau dikatakan tidak pernah) membacakan cerita untuk anaknya. Sedangkan yang 2 orang mengaku sering membacakan cerita, walaupun tidak setiap hari.
Alasan yang paling banyak dipakai adalah karena kesibukan. Memang jika dilihat dari pekerjaan para orang tua tersebut, mereka adalah pedagang di pasar tradisional yang dekat dengan TK anaknya. Jadi urusan bercerita sudah diserahkan kepada televisi, apa pun program yang disukai oleh anak mereka.
Jadi teringat kepada almarhum ayah saya, beliau adalah pendongeng yang baik. Setiap ba’da maghrib ayah saya selalu bercerita. Saya bungsu dari empat bersaudara, maka saya mendapat tempat yang paling nyaman yaitu duduk di pangkuannya. Cerita favorit saya adalah tentang kekonyolan Abu Nawas. Saat-saat itu menjadi kenangan masa kecil yang tak terlupakan.
Kembali kepada diri saya sendiri, kedua buah hati saya masih berumur 3 dan 1 tahun. Untuk mereka saya berusaha membacakan cerita paling sedikit satu buku cerita anak yang tipis dan penuh gambar berwarna. Menyenangkan sekali melihat antusias mereka. Bahkan anak 1 tahun pun mendengar ketika dibacakan cerita!
Memang rasa jenuh sering muncul, terutama ketika si sulung selalu minta dibacakan buku yang itu-itu saja ( favoritnya saat ini adalah cerita tentang lomba balap sepeda ). Jadi saya harus menyediakan lebih banyak alternatif buku cerita, baik beli maupun pinjam.
Artikel ini tidak bermaksud untuk menggurui siapa pun,
sehingga janganlah tersinggung (terutama kepada para orang tua yang saya wawancarai).
Saya masih harus banyak belajar, agar bisa memberikan yang terbaik untuk kedua buah hati saya.
Karena itu…berbagilah dengan saya.
ditulis pada 21 Oct 2009, 7:45 pm oleh Desri Susilawani
Dongeng merupakan sarana pendidikan yang paling mudah dan mengasyikan. Pada dasarnya anak-anak sangat menyukai cerita. Hal ini akan menjadi modal dasar yang sangat berarti. Dengan memilih cerita yang tepat dan bercerita dengan cara yang merebut hati anak, kita dapat menyelipkan berbagai informasi yang berguna untuk mendidik mereka.
Ada selusin manfaat membacakan cerita atau mendongeng untuk anak :
1.Menjadi fondasi dasar kemampuan berbahasa
2.Meningkatkan kemampuan komunikasi verbal
3.Meningkat kemampuan mendengar
4.Mengasah logika berpikir dan rasa ingin tahu
5.Menanamkan minat baca dan menjadi pintu gerbang menuju ilmu pengetahuan
6.Menambah wawasan
7.Mengembangkan imajinasi dan jiwa petualang
8.Mempererat ikatan batin orang tua dan anak
9.Meningkatkan kecerdasan emosional
10.Alat untuk menanamkan nilai moral, etika, dan membangun kepribadian
11.Menyelami berbagai budaya yang berbeda
12.Relaksasi jiwa
( Diambil dari materi workshop Read A Story di Erlangga Bandung)
Saya mengikuti workshop tentang bercerita itu di Erlangga Bandung sekitar bulan April 2009. Melihat begitu banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui cerita, saya jadi ingin tahu, apakah membaca cerita atau mendongeng masih menjadi kebiasaan orang tua sekarang?
Saya pun melakukan wawancara kecil-kecilan terhadap beberapa ibu yang sedang menunggui anaknya di TK. Hasinya, dari 10 orang tua ternyata 8 orang diantaranya mengaku sangat jarang (kalau tidak mau dikatakan tidak pernah) membacakan cerita untuk anaknya. Sedangkan yang 2 orang mengaku sering membacakan cerita, walaupun tidak setiap hari.
Alasan yang paling banyak dipakai adalah karena kesibukan. Memang jika dilihat dari pekerjaan para orang tua tersebut, mereka adalah pedagang di pasar tradisional yang dekat dengan TK anaknya. Jadi urusan bercerita sudah diserahkan kepada televisi, apa pun program yang disukai oleh anak mereka.
Jadi teringat kepada almarhum ayah saya, beliau adalah pendongeng yang baik. Setiap ba’da maghrib ayah saya selalu bercerita. Saya bungsu dari empat bersaudara, maka saya mendapat tempat yang paling nyaman yaitu duduk di pangkuannya. Cerita favorit saya adalah tentang kekonyolan Abu Nawas. Saat-saat itu menjadi kenangan masa kecil yang tak terlupakan.
Kembali kepada diri saya sendiri, kedua buah hati saya masih berumur 3 dan 1 tahun. Untuk mereka saya berusaha membacakan cerita paling sedikit satu buku cerita anak yang tipis dan penuh gambar berwarna. Menyenangkan sekali melihat antusias mereka. Bahkan anak 1 tahun pun mendengar ketika dibacakan cerita!
Memang rasa jenuh sering muncul, terutama ketika si sulung selalu minta dibacakan buku yang itu-itu saja ( favoritnya saat ini adalah cerita tentang lomba balap sepeda ). Jadi saya harus menyediakan lebih banyak alternatif buku cerita, baik beli maupun pinjam.
Artikel ini tidak bermaksud untuk menggurui siapa pun,
sehingga janganlah tersinggung (terutama kepada para orang tua yang saya wawancarai).
Saya masih harus banyak belajar, agar bisa memberikan yang terbaik untuk kedua buah hati saya.
Karena itu…berbagilah dengan saya.
JENIS-JENIS PIDATO
Jenis-Jenis Pidato
Menurut ada tidaknya persiapan sesuai dengan cara yang dilakukan waktu persiapan, ada empat macam pidato
1. Impromptu (serta merta) : pidato yang apabila Anda menghadiri pesta dan tiba-tiba dipanggil untuk menyampaikan pidato.
Keuntungan :
•lebih mengungkapkan perasaan pembicara
•gagasan datang secara spontan
•memungkinkan Anda terus berpikir
Kerugian :
•menimbulkan kesimpulan yang mentah
•mengakibatkan penyampaian tidak lancar
•gagasan yang disampaikan ngawur
•demam panggung
2. Manuskrip : pidato dengan naskah. Di sini tidak berlaku istilah ‘menyampaikan pidato’ tapi ‘membacakan pidato’. Manuskrip dibutuhkan oleh tokoh nasional, sebab kesalahan sedikit saja dapat menimbulkan kekacauan nasional.
Keuntungan :
•kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya
•pernyataan dapat dihemat
•kefasihan bicara dapat dicapai
•tidak ngawur
•manuskrip dapat diperbanyak
Kerugian :
•komunikasi pendengar akan berkurang karena pembicara tidak berbicara langsung pada mereka
•pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik
•pembuatannya lebih lama
3. Memoriter : pesan pidato ditulis kemudian diingat kata demi kata.
Keuntungan :
•kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya
•gerak dan isyarat yang diintegrasikan dengan uraian
Kerugian :
•komunikasi pendengar akan berkurang karena pembicara beralih pada usaha untuk mengingat kata-kata
•memerlukan banyak waktu
4. Ekstemporan : pidato sudah dipersiapkan sebelumnya berupa garis besar dan pokok penunjang pembahasan (supporting points), tetapi pembicara tidak berusaha mengingatnya kata demi kata.
Keuntungan :
•komunikasi pembicara dengan pendengar lebih baik
•pesan dapat fleksibel
kerugian :
•kemungkinan menyimpang dari garis besar
•kefasihan terhambat karena kesukaran memilih kata-kata
Diadaptasi dari sumber :
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Retorika Modern; Pendekatan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Menurut ada tidaknya persiapan sesuai dengan cara yang dilakukan waktu persiapan, ada empat macam pidato
1. Impromptu (serta merta) : pidato yang apabila Anda menghadiri pesta dan tiba-tiba dipanggil untuk menyampaikan pidato.
Keuntungan :
•lebih mengungkapkan perasaan pembicara
•gagasan datang secara spontan
•memungkinkan Anda terus berpikir
Kerugian :
•menimbulkan kesimpulan yang mentah
•mengakibatkan penyampaian tidak lancar
•gagasan yang disampaikan ngawur
•demam panggung
2. Manuskrip : pidato dengan naskah. Di sini tidak berlaku istilah ‘menyampaikan pidato’ tapi ‘membacakan pidato’. Manuskrip dibutuhkan oleh tokoh nasional, sebab kesalahan sedikit saja dapat menimbulkan kekacauan nasional.
Keuntungan :
•kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya
•pernyataan dapat dihemat
•kefasihan bicara dapat dicapai
•tidak ngawur
•manuskrip dapat diperbanyak
Kerugian :
•komunikasi pendengar akan berkurang karena pembicara tidak berbicara langsung pada mereka
•pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik
•pembuatannya lebih lama
3. Memoriter : pesan pidato ditulis kemudian diingat kata demi kata.
Keuntungan :
•kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya
•gerak dan isyarat yang diintegrasikan dengan uraian
Kerugian :
•komunikasi pendengar akan berkurang karena pembicara beralih pada usaha untuk mengingat kata-kata
•memerlukan banyak waktu
4. Ekstemporan : pidato sudah dipersiapkan sebelumnya berupa garis besar dan pokok penunjang pembahasan (supporting points), tetapi pembicara tidak berusaha mengingatnya kata demi kata.
Keuntungan :
•komunikasi pembicara dengan pendengar lebih baik
•pesan dapat fleksibel
kerugian :
•kemungkinan menyimpang dari garis besar
•kefasihan terhambat karena kesukaran memilih kata-kata
Diadaptasi dari sumber :
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Retorika Modern; Pendekatan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
PROSES BELAJAR-PEMBELAJARAN : SUATU PROSES KOMUNIKASI
PROSES BELAJAR-PEMBELAJARAN : SUATU PROSES KOMUNIKASI
Prof. DR. Sudarsono Sudirdjo, M.Sc Ed.
Pengantar
Sering dikatakan bahwa proses belajar pembelajaran adalah merupakan proses komunikasi dimana terjadi proses penyampaian pesan tertentu dari sumber belajar (misalnya guru, instruktur, media pembelajaran,dll.) kepada penerima (peserta belajar, murid, dsb), dengan tujuan agar pesan (berupa topik-topik dalam mata pelajaran tertentu) dapat diterima (menjadi milik, di-shared) oleh peserta didik / murid-murid. Kesadaran yang demikian ini tidaklah dijumpai dalam penyelenggaraan pendidikan yang telah berlangsung dari abad ke abad, melainkan baru terjadi pada sekitar tahun 1950-an, pada waktu Berlo mengembangkan suatu model komunikasi yang disebutnya SMCR, singkatan dari Source, Message, Channel dan Receiver. Model SMCR dimaksudkan untuk menunjukkan terjadinya proses komunikasi antar manusia (human communication) yang diilhami oleh model komunikasi yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh Shannon-Weaver pada tahun 1946 dalam bidang matematika dan elektronik dengan unsur-unsur komunikasi seperti Source (Sumber), Transmitter (pemancar), Message (pesan), Signal, Noise (gangguan), Receiver (pesawat penerima) dan Destination (tujuan yaitu orang yang diharapkan dapat menerima pesan yang disampaikan).
Adanya kesadaran bahwa proses belajar dan pembelajaran adalah merupakan proses komunikasi membawa implikasi-implikasi yang sangat penting dan mendasar bagi penyelenggaraan dan pelaksanaan serta hakikat proses belajar dan pembelajaran itu sendiri.
Komunikasi dan Kehidupan Manusia
Barangkali ada tiga macam kegiatan utama yang secara khas dilakukan manusia di sepanjang kehidupannya, yaitu bernafas, berkomunikasi dan berfikir. Dari ketiga aktivitas tersebut, hanya bernafaslah yang dikerjakan manusia secara nonstop 24 jam sehari semalam di sepanjang hidupnya. Sedangkan kegiatan berkomunikasi dan berfikir dilakukan selagi manusia masih dalam keadaan jaga (tidak tidur), baik selagi sendiri maupun bersama orang lain, melalui berbagai kegiatan seperti membaca, menulis, menonton televisi, mendengar radio, berbicara dengan orang lain, mendengar orang lain, berbicara, bertanya, menjawab pertanyaan dan lain sebagainya. Kegiatan komunikasi dilakukan di semua aspek (bidang) kehidupan manusia : bidang ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, keagamaan, pendidikan, keamanan, hukum dan sebagainya. Kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan bermacam-macam bentuk dan jenis kegiatan komunikasi serta sangat penting peranannya dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social mengambil urutan kegiatan sebagai berikut: mendengar (listening), berbicara (speaking), membaca (reading) dan menulis (writing).
Kegiatan komunikasi tidak dapat dipisahkan dan bahkan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia karena manusia adalah makhluk sosial dimana manusia tidak akan pernah dapat hidup sendiri sebagai “feral man”. Setiap individu memerlukan kehadiran individu yang lain untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmaniah (biologis) maupun yang bersifat non-biologis seperti kebutuhan rasa aman, penghargaan, kasih sayang dan perwujudan diri (self actualization need) sebagai yang dikemukakan oleh Maslov. Selain itu, kegiatan komunikasi juga dilakukan atau diperlukan oleh manusia karena manusia tidak dapat selamanya memperoleh pengalaman langsung (firsthand experiences) didalam hidupnya karena adanya keterbatasan dalam waktu, biaya, sarana dan prasarana dan sebagainya. Oleh sebab itu seringkali kita hanya dapat memperolehnya melalui pengalaman tidak langsung (secondhand atau vicarious experiences) yang kita dapatkan dengan jalan membaca, mendengar, melihat gambar dan sebagainya. Pengalaman tidak langsung seperti itu kita peroleh melalui kegiatan komunikasi. Masih ada kegunaan komunikasi yang lain bagi kehidupan manusia yaitu untuk mewariskan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sudah dimiliki manusia dalam satu generasi ke generasi berikutnya dan dengan demikian sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia itu sendiri.
Sebagai makhluk yang memerlukan bantuan dan kehadiran orang lain untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya (makhluk sosial), manusia juga mengembangkan lambang verbal (bahasa) yang digunakan sebagai sarana/alat utama dalam komunikasi. Bentuk komunikasi verbal (komunikasi dengan menggunakan kata-kata atau bahasa) adalah bentuk komunikasi yang paling dominan digunakan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan berbagai macam kebutuhan yang dimiliki atau perkembangan yang terdapat dalam kehidupan manusia, maka manusia secara terus menerus mengembangkan lambang-lambang verbal untuk menunjuk apa saja yang terdapat dalam kehidupan realita yang sebenarnya, seperti nama tumbuh-tumbuhan, hewan, benda-benda mati, cuaca, bunga, buah-buahan, penyakit, obat-obatan, kendaraan, makanan, sifat/keadaan (seperti besar, kecil, ramah, kaya, pandai dan sebagainya) dan perkembangan peradaban dan kemajuan kehidupan manusia dan teknologi. Sampai kapanpun, manusia tidak pernah berhenti mengembangkan atau menciptakan lambang-lambang verbal yang baru sesuai dengan kebutuhannya pada suatu saat tertentu. Misalnya kata AIDS adalah lambang verbal untuk menunjuk kepada suatu penyakit yang baru diketahui oleh manusia pada dekade 1970-an dan belum pernah disebut-sebut pada tahun 1960-an, untuk menunjuk kepada kondisi menurunnya daya kekebalan tubuh seseorang.
Makna (arti, meaning) yang terdapat dalam lambang verbal berasal dari persetujuan bersama antar individu yang menggunakan lambang tersebut. Bagi mereka yang belum atau tidak ikut menyetujui makna suatu lambang verbal yang digunakan, berarti mereka tidak akan mengerti makna lambang tersebut. Mempelajari bahasa asing (misalnya bahasa Inggris), sebenarnya dapat diartikan sebagai usaha untuk ikut mengerti atau ikut menyetujui makna atau arti lambang-lambang yang terdapat dalam bahasa Inggris tersebut. Karena itu sifat lambang verbal yang pokok adalah abstrak, bahkan dikatakan oleh Edgar Dale dalam kerucut pengalamannya (1946), lambang verbal adalah bersifat paling abstrak di dalam memberikan pengalaman kepada penerima (murid).
Hakikat Komunikasi
Wilbur Schramm mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai berikut : “today we might define communication simply by saying that it is the sharing of an orientation toward a set of informational signs”. Dari apa yang dikemukakan oleh Schramm di atas dapat dikatakan bahwa hakikat komunikasi adalah penyampaian pesan dengan menggunakan lambang (simbol) tertentu, baik verbal maupun non verbal, dengan tujuan agar pesan tersebut dapat diterima oleh penerima (audience). Dengan demikian hakikat komunikasi adalah “sharing” yang artinya pesan yang disampaikan sumber dapat menjadi milik penerima, atau dalam dunia pendidikan dan pembelajaran dikatakan agar pesan pembelajaran yang disampaikan guru dapat diserap oleh murid-muridnya.
Proses belajar-pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu proses komunikasi dengan pengertian bahwa pesan pembelajaran yang disampaikan oleh guru dapat diterima (diserap) dengan baik atau dapat dikatakan menjadi “milik” murid-murid. Schramm mengingatkan bahwa untuk dapat mencapai “sharing” antara sumber dan penerima atas pesan yang disampaikan, perlu adanya keserupaan atau kemiripan medan pengalaman sumber dan medan pengalaman penerima. Ini dimaksudkan agar lambang yang digunakan oleh sumber benar-benar dapat dimengerti oleh murid-murid (penerima), karena sumber dan penerima mempunyai medan pengalaman yang serupa atau hampir sama. Apabila lambang yang digunakan sumber terlalu sulit bagi daya tangkap penerima, maka sharing yang diinginkan jauh dari tercapai. Guru haruslah selalu menyadari akan hal ini, yaitu bahwa di dalam melaksanakan kegiatan belajar dan pembelajaran, sesungguhnya dia sedang melaksanakan kegiatan komunikasi. Oleh karenanya guru harus selalu memilih dan menggunakan kata-kata yang berada dalam jangkauan/medan pengalaman murid-muridnya, agar dapat dimengerti dengan baik oleh mereka, sehingga pesan pembelajaran yang disampaikan dapat di-shared (diterima, dimiliki) oleh murid-murid dengan baik. Hal ini lebih-lebih lagi sangat berlaku apabila guru atau instruktur menggunakan metode ceramah (lecture method) dalam melaksanakan pembelajaran.
Harus selalu disadari para guru bahwa kegiatan komunikasi atau pembelajaran yang dilakukan adalah kegiatan yang hanya memberikan pengalaman tidak langsung (vicarious experiences) kepada murid-murid, karena menggunakan lambang-lambang (terutama lambang verbal) untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Sebab itu lambang verbal yang bersifat amat abstrak yang digunakan harus digunakan dengan ekstra hati-hati, diantaranya dengan memilih lambang verbal yang dapat dipastikan dapat dimengerti dengan baik oleh murid-murid, sehingga dapat diterima dan di-shared antara guru dan murid dengan sebaik-baiknya.
Kegiatan “encoding” dan “decoding” dalam proses belajar-pembelajaran
Dalam setiap kegiatan komunikasi terdapat dua macam kegiatan yaitu “encoding” dan “decoding”. Encoding adalah kegiatan yang berkaitan dengan pemilihan lambang-lambang yang akan digunakan dalam kegiatan komunikasi oleh komunikator (oleh guru dalam kegiatan pembelajaran). Terdapat dua persyaratan yang harus diperhatikan untuk melakukan kegiatan “encoding” ini yaitu :
1dapat mengungkapkan pesan yang akan disampaikan ; dan
2sesuai dengan medan pengalaman audience atau penerima, sehingga memudahkan penerima didalam menerima isi pesan yang disampaikan.
Salah satu kemampuan profesional seorang guru adalah kemampuan melakukan kegiatan “encoding” dengan tepat, sehingga murid-murid memperoleh kemudahan di dalam menerima dan mengerti materi/bahan pelajaran yang merupakan pesan pembelajaran yang disampaikan guru kepada murid.
Sedang kegiatan “decoding” adalah kegiatan dalam komunikasi yang dilaksanakan oleh penerima (audience, murid), dimana penerima berusaha menangkap makna pesan yang disampaikan melalui lambang-lambang oleh sumber melalui kegiatan encoding di atas. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa kagiatan “decoding” ini sangat ditentukan oleh keadaan medan pengalaman penerima sendiri. Keberhasilan penerima di dalam proses “decoding” ini sangat ditentukan oleh kepiawaian sumber di dalam proses “encoding” yang dilakukan, yaitu di dalam memahami latar belakang pengalaman, kemampuan, kecerdasan, minat dan lain-lain dari penerima. Adalah sama sekali keliru apabila di dalam proses komunikasi sumber melakukan proses “encoding” berdasarkan pada kemauan dan pertimbangan pribadi tanpa memperhatikan hal-hal yang terdapat pada diri penerima seperti yang sudah disebutkan di atas, yang dalam hal ini terutama adalah medan pengalaman mereka.
Peranan Alat Peraga dan Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Pembelajaran.
Telah dikatakan di atas bahwa komunikasi (termasuk proses atau kegiatan pembelajaran) dilaksanakan dengan menggunakan lambang-lambang, (symbols), terutama adalah lambang verbal (kata-kata, bahasa). Keuntungan terbesar lambang verbal dalam proses komunikasi (termasuk pembelajaran) adalah sumber dapat memilih lambang secara tidak terbatas untuk menyampaikan pesan kepada penerima, sehingga sumber dapat dengan mudah menyampaikan pesan yang tidak terbatas pula kepada penerima. Berbeda dengan lambang yang lain seperti gambar-gambar, tanda atau isyarat yang hanya mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada penerima. Misalnya untuk menyampaikan pesan yang berkaitan dengan pindah rumah, pindah pekerjaan, memberikan berbagai nasihat, apalagi menyampaikan pesan pembelajaran dalam berbagai bidang studi, tentu saja sangat sulit apabila digunakan lambang-lambang nonverbal.
Namun demikian penggunaan lambang verbal dalam kegiatan komunikasi mempunyai juga keterbatasan atau kekurangan yang harus selalu diperhatikan oleh sumber atau guru sebagai komunikator, yaitu bahwa lambang verbal bersifat abstrak, atau jika menurut kerucut pengalaman (cone of experience) Edgar Dale lambang verbal memberikan pengalaman yang paling abstrak, jika dibandingkan dengan penggunaan lambang visual, gambar diam (still pictures), film dan televisi, penggunaan metode pameran (exhibit), karya wisata, demonstrasi, dramatisasi, pengalaman tiruan (contrived experiences) dan pengalaman langsung.
Oleh karena itu dalam rangka mencapai “sharing” yang diinginkan dalam setiap kegiatan komunikasi (termasuk proses pembelajaran), guru harus selalu menyadari terhadap sifat dan karakteristik yang merupakan kekurangan utama penggunaan lambang verbal yaitu memberikan pengalaman yang paling abstrak, sehingga dapat memberikan hambatan (noise) bagi murid untuk menerima pesan yang disampaikan.
Salah satu cara untuk mengatasi hambatan tersebut, yaitu agar penyampaian pesan pembelajaran dilakukan dengan lebih konkrit dan jelas, selain dengan memilih lambang verbal yang berada di medan pengalaman murid, misalnya dengan menggunakan alat peraga dan media pembelajaran, seperti chart, diagram, grafik (visual symbols), gambar diam (still pictures), model dan “real objects”, film , pita/kaset video, VCD, DVD, dan sebagainya.
Media pembelajaran dapat digunakan dalam dua macam cara dalam proses belajar-pembelajaran, yaitu :
Sebagai alat peraga atau alat bantu pembelajaran ; yang dimaksud disini adalah bahwa alat peraga digunakan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran yang disampaikan kepada murid-murid. Materi yang disampaikan ke murid menjadi bertambah jelas dan konkrit, hingga membuat murid menjadi bertambah mengerti apa yang disampaikan oleh guru. Dengan demikian “sharing” yang diinginkan dalam setiap kegiatan komunikasi (termasuk komunikasi dalam proses belajar-pembelajaran) dapat dicapai. Sebenarnya pentingnya penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran ini adalah merupakan akibat suatu gerakan pada tahun 1920-an di Amerika Serikat yang diberi nama “Visual Instruction” yang dilanjutkan dengan “Audio Visual Instruction Movement” yang mengajak para pendidik untuk menggunakan gambar, chart, diagram dan semacamnya bahkan sampai benda-banda yang nyata dalam proses pembelajaran agar pembelajaran menjadi lebih konkrit untuk dimengerti oleh murid-murid.
Cara kedua, pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar dan pembelajaran adalah sebagai sarana atau saluran komunikasi. Media atau alat peraga dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan pembelajaran, dalam hal ini terutama oleh media belajar mandiri (self instructional materials), seperti modul, Computer Assisted Instruction (CAI) dan sebagainya. Oleh adanya kemampuan sebagai sarana atau saluran komunikasi ini, maka dapat dilaksanakan inovasi dalam jaringan belajar, yaitu apa yang disebut dengan sekolah terbuka, misalnya Universitas Terbuka (UT), SMP/SMA terbuka, BJJ (Belajar Jarak Jauh) dan sebagainya. Pada hakikatnya sekolah terbuka ini memanfaatkan penggunaan media belajar mandiri (self instructional materials) untuk melaksanakan kegiatan belajar siswa dengan bimbingan yang minimal dari guru pembimbing.
Oleh karena penyelenggaraan kegiatan pembelajaran secara tatap muka masih cukup dominan dalam sistem pendidikan di manapun juga, termasuk di Indonesia, maka cara yang pertama penggunaan media pembelajaran, yaitu sebagai alat bantu belajar dan pembelajaran agar penyampaian pesan pembelajaran menjadi bertambah jelas dan konkrit, patut mendapatkan perhatian oleh semua guru disemua tingkatan pendidikan (TK, SD, SLTP, SMA, SMK bahkan juga Perguruan Tinggi). Memang penggunaan alat peraga tersebut makin diperlukan bagi anak-anak usia muda, karena makin muda usia anak, makin bersifat konkrit, berhubung dengan pengalamannya juga masih terbatas.
Gangguan (Noise) Dalam Proses Belajar dan Pembelajaran
Dalam komunikasi dapat dijumpai adanya gangguan (noise) yang dapat menghalangi tercapainya “sharing” yang dikehendaki. Begitu juga dalam proses pembelajaran dapat terdapat “noise” yang dapat menghambat diserapnya pesan pembelajaran yang disampaikan oleh murid. Oleh karena itu, setiap guru harus waspada terhadap hal ini dan berusaha seoptimal mungkin menghilangkan “noise” tersebut. Salah satu gangguan (“noise”) yang dapat menghambat murid di dalam menerima pesan pembelajaran yang disampaikan adalah dari penggunaan lambang (kegiatan “encoding”) yang terlalu sulit dan tidak sesuai dengan medan pengalaman murid. Hal ini dapat dipersulit dan bertambah abstrak karena guru tidak menggunakan alat peraga seperti yang sudah dijelaskan di atas. Gangguan atau “noise” ini menjadi bertambah makin banyak, karena beberapa hal seperti : guru berbicara terlalu cepat, volumenya terlalu lemah/kuat, murid dalam keadaan capai, mengantuk, kelas ribut dan sebagainya.
Sudah seharusnya guru sebagai komunikator berusaha sebaik-baiknya untuk mengurangi, kalau tidak dapat menghilangkan semua gangguan (“noise”) yang mungkin dapat dijumpai dalam penyelenggaraan kegiatan belajar dan pembelajaran.
Umpan Balik (Feedback) dalam Proses Belajar Pembelajaran
Dalam kegiatan komunikasi, termasuk kegiatan pembelajaran, terdapat satu unsur yang harus selalu diperhatikan oleh sumber atau komunikator, yaitu umpan balik (feedback). Umpan balik amat penting dalam kegiatan komunikasi karena yang menjadi tujuan utama kegiatan komunikasi adalah “sharing”, yaitu diterimanya oleh penerima (murid) pesan yang disampaikan sumber.
Untuk itu, sementara proses komunikasi berlangsung, sumber harus selalu berusaha untuk melihat sejauh mana audience telah mencapai pesan yang disampaikan. Upaya untuk melihat sejauh mana audience telah mencapai tujuan yang diinginkan adalah dengan memperoleh feedback (umpan balik) dari murid sendiri. Apakah umpan balik (feedback) itu ?.
Umpan balik (feedback) adalah semua keterangan yang diperoleh untuk menunjukkan seberapa jauh murid telah mencapai “sharing” atas pesan yang telah disampaikan. Keterangan yang dimaksud dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti misalnya pertanyaan murid terhadap materi pelajaran yang disampaikan, jawaban murid atas pertanyaan guru, suasana kelas (seperti gaduh, sunyi, ribut dan lain-lain). Oleh karena itu, guru tidak boleh secara satu arah saja terus menerus menyampaikan pesan pembelajaran kepada murid. Secara periodik guru harus memberikan pertanyaan kepada murid untuk memperoleh feedback tentang bagaimana atau sejauh mana mereka telah dapat menerima (sharing) tentang pesan pembelajaran yang disampaikan. Juga guru perlu melaksanakan pengamatan (observasi) secara berkelanjutan kepada bagaimana partisipasi murid dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Tentu saja guru harus mengambil langkah-langkah perbaikan (remedial) yang bersumber dari hasil feedback yang telah diperoleh, sehingga dengan demikian selalu terjadi peningkatan dan perbaikan dalam penyelenggaraan proses dan kegiatan belajar dan pembelajaran berikutnya.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa proses belajar dan pembelajaran yang sebenarnya merupakan kegiatan komunikasi itu mengisyaratkan para guru untuk selalu menerapkan prinsip-prinsip komunikasi dalam pelaksanaan proses belajar pembelajaran yang dilaksanakan seperti : memilih kata-kata yang sesuai dengan medan pengalaman murid, menggunakan berbagai alat peraga yang dapat mengkonkritkan penjelasan/uraian verbal guru, menghilangkan “noise” sebanyak-banyaknya, memperoleh umpan balik dan sebagainya, sehingga murid dapat menyerap atau memiliki dengan baik pesan-pesan pembelajaran yang disampaikan oleh guru sebagai sumber komunikasi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Heinich, Robert, Michael Molenda, Jamaes D. Russell, Instructional Media and
The New Technologies of Instruction, New York: John Wiley & Sons,
Inc., 1982
Berlo, David K., The Process of Communication, New York: Holt, Rinehart and
Winston, Inc., 1960
Effendy,Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung:
Penerbit Remaja Karya CV, 1986
Dale, Edgar, Audio-Visual Methods in Teaching, New York : Holt, Rinehart and
Winston, 1969
Prof. DR. Sudarsono Sudirdjo, M.Sc Ed.
Pengantar
Sering dikatakan bahwa proses belajar pembelajaran adalah merupakan proses komunikasi dimana terjadi proses penyampaian pesan tertentu dari sumber belajar (misalnya guru, instruktur, media pembelajaran,dll.) kepada penerima (peserta belajar, murid, dsb), dengan tujuan agar pesan (berupa topik-topik dalam mata pelajaran tertentu) dapat diterima (menjadi milik, di-shared) oleh peserta didik / murid-murid. Kesadaran yang demikian ini tidaklah dijumpai dalam penyelenggaraan pendidikan yang telah berlangsung dari abad ke abad, melainkan baru terjadi pada sekitar tahun 1950-an, pada waktu Berlo mengembangkan suatu model komunikasi yang disebutnya SMCR, singkatan dari Source, Message, Channel dan Receiver. Model SMCR dimaksudkan untuk menunjukkan terjadinya proses komunikasi antar manusia (human communication) yang diilhami oleh model komunikasi yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh Shannon-Weaver pada tahun 1946 dalam bidang matematika dan elektronik dengan unsur-unsur komunikasi seperti Source (Sumber), Transmitter (pemancar), Message (pesan), Signal, Noise (gangguan), Receiver (pesawat penerima) dan Destination (tujuan yaitu orang yang diharapkan dapat menerima pesan yang disampaikan).
Adanya kesadaran bahwa proses belajar dan pembelajaran adalah merupakan proses komunikasi membawa implikasi-implikasi yang sangat penting dan mendasar bagi penyelenggaraan dan pelaksanaan serta hakikat proses belajar dan pembelajaran itu sendiri.
Komunikasi dan Kehidupan Manusia
Barangkali ada tiga macam kegiatan utama yang secara khas dilakukan manusia di sepanjang kehidupannya, yaitu bernafas, berkomunikasi dan berfikir. Dari ketiga aktivitas tersebut, hanya bernafaslah yang dikerjakan manusia secara nonstop 24 jam sehari semalam di sepanjang hidupnya. Sedangkan kegiatan berkomunikasi dan berfikir dilakukan selagi manusia masih dalam keadaan jaga (tidak tidur), baik selagi sendiri maupun bersama orang lain, melalui berbagai kegiatan seperti membaca, menulis, menonton televisi, mendengar radio, berbicara dengan orang lain, mendengar orang lain, berbicara, bertanya, menjawab pertanyaan dan lain sebagainya. Kegiatan komunikasi dilakukan di semua aspek (bidang) kehidupan manusia : bidang ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, keagamaan, pendidikan, keamanan, hukum dan sebagainya. Kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan bermacam-macam bentuk dan jenis kegiatan komunikasi serta sangat penting peranannya dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social mengambil urutan kegiatan sebagai berikut: mendengar (listening), berbicara (speaking), membaca (reading) dan menulis (writing).
Kegiatan komunikasi tidak dapat dipisahkan dan bahkan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia karena manusia adalah makhluk sosial dimana manusia tidak akan pernah dapat hidup sendiri sebagai “feral man”. Setiap individu memerlukan kehadiran individu yang lain untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmaniah (biologis) maupun yang bersifat non-biologis seperti kebutuhan rasa aman, penghargaan, kasih sayang dan perwujudan diri (self actualization need) sebagai yang dikemukakan oleh Maslov. Selain itu, kegiatan komunikasi juga dilakukan atau diperlukan oleh manusia karena manusia tidak dapat selamanya memperoleh pengalaman langsung (firsthand experiences) didalam hidupnya karena adanya keterbatasan dalam waktu, biaya, sarana dan prasarana dan sebagainya. Oleh sebab itu seringkali kita hanya dapat memperolehnya melalui pengalaman tidak langsung (secondhand atau vicarious experiences) yang kita dapatkan dengan jalan membaca, mendengar, melihat gambar dan sebagainya. Pengalaman tidak langsung seperti itu kita peroleh melalui kegiatan komunikasi. Masih ada kegunaan komunikasi yang lain bagi kehidupan manusia yaitu untuk mewariskan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sudah dimiliki manusia dalam satu generasi ke generasi berikutnya dan dengan demikian sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia itu sendiri.
Sebagai makhluk yang memerlukan bantuan dan kehadiran orang lain untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya (makhluk sosial), manusia juga mengembangkan lambang verbal (bahasa) yang digunakan sebagai sarana/alat utama dalam komunikasi. Bentuk komunikasi verbal (komunikasi dengan menggunakan kata-kata atau bahasa) adalah bentuk komunikasi yang paling dominan digunakan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan berbagai macam kebutuhan yang dimiliki atau perkembangan yang terdapat dalam kehidupan manusia, maka manusia secara terus menerus mengembangkan lambang-lambang verbal untuk menunjuk apa saja yang terdapat dalam kehidupan realita yang sebenarnya, seperti nama tumbuh-tumbuhan, hewan, benda-benda mati, cuaca, bunga, buah-buahan, penyakit, obat-obatan, kendaraan, makanan, sifat/keadaan (seperti besar, kecil, ramah, kaya, pandai dan sebagainya) dan perkembangan peradaban dan kemajuan kehidupan manusia dan teknologi. Sampai kapanpun, manusia tidak pernah berhenti mengembangkan atau menciptakan lambang-lambang verbal yang baru sesuai dengan kebutuhannya pada suatu saat tertentu. Misalnya kata AIDS adalah lambang verbal untuk menunjuk kepada suatu penyakit yang baru diketahui oleh manusia pada dekade 1970-an dan belum pernah disebut-sebut pada tahun 1960-an, untuk menunjuk kepada kondisi menurunnya daya kekebalan tubuh seseorang.
Makna (arti, meaning) yang terdapat dalam lambang verbal berasal dari persetujuan bersama antar individu yang menggunakan lambang tersebut. Bagi mereka yang belum atau tidak ikut menyetujui makna suatu lambang verbal yang digunakan, berarti mereka tidak akan mengerti makna lambang tersebut. Mempelajari bahasa asing (misalnya bahasa Inggris), sebenarnya dapat diartikan sebagai usaha untuk ikut mengerti atau ikut menyetujui makna atau arti lambang-lambang yang terdapat dalam bahasa Inggris tersebut. Karena itu sifat lambang verbal yang pokok adalah abstrak, bahkan dikatakan oleh Edgar Dale dalam kerucut pengalamannya (1946), lambang verbal adalah bersifat paling abstrak di dalam memberikan pengalaman kepada penerima (murid).
Hakikat Komunikasi
Wilbur Schramm mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai berikut : “today we might define communication simply by saying that it is the sharing of an orientation toward a set of informational signs”. Dari apa yang dikemukakan oleh Schramm di atas dapat dikatakan bahwa hakikat komunikasi adalah penyampaian pesan dengan menggunakan lambang (simbol) tertentu, baik verbal maupun non verbal, dengan tujuan agar pesan tersebut dapat diterima oleh penerima (audience). Dengan demikian hakikat komunikasi adalah “sharing” yang artinya pesan yang disampaikan sumber dapat menjadi milik penerima, atau dalam dunia pendidikan dan pembelajaran dikatakan agar pesan pembelajaran yang disampaikan guru dapat diserap oleh murid-muridnya.
Proses belajar-pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu proses komunikasi dengan pengertian bahwa pesan pembelajaran yang disampaikan oleh guru dapat diterima (diserap) dengan baik atau dapat dikatakan menjadi “milik” murid-murid. Schramm mengingatkan bahwa untuk dapat mencapai “sharing” antara sumber dan penerima atas pesan yang disampaikan, perlu adanya keserupaan atau kemiripan medan pengalaman sumber dan medan pengalaman penerima. Ini dimaksudkan agar lambang yang digunakan oleh sumber benar-benar dapat dimengerti oleh murid-murid (penerima), karena sumber dan penerima mempunyai medan pengalaman yang serupa atau hampir sama. Apabila lambang yang digunakan sumber terlalu sulit bagi daya tangkap penerima, maka sharing yang diinginkan jauh dari tercapai. Guru haruslah selalu menyadari akan hal ini, yaitu bahwa di dalam melaksanakan kegiatan belajar dan pembelajaran, sesungguhnya dia sedang melaksanakan kegiatan komunikasi. Oleh karenanya guru harus selalu memilih dan menggunakan kata-kata yang berada dalam jangkauan/medan pengalaman murid-muridnya, agar dapat dimengerti dengan baik oleh mereka, sehingga pesan pembelajaran yang disampaikan dapat di-shared (diterima, dimiliki) oleh murid-murid dengan baik. Hal ini lebih-lebih lagi sangat berlaku apabila guru atau instruktur menggunakan metode ceramah (lecture method) dalam melaksanakan pembelajaran.
Harus selalu disadari para guru bahwa kegiatan komunikasi atau pembelajaran yang dilakukan adalah kegiatan yang hanya memberikan pengalaman tidak langsung (vicarious experiences) kepada murid-murid, karena menggunakan lambang-lambang (terutama lambang verbal) untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Sebab itu lambang verbal yang bersifat amat abstrak yang digunakan harus digunakan dengan ekstra hati-hati, diantaranya dengan memilih lambang verbal yang dapat dipastikan dapat dimengerti dengan baik oleh murid-murid, sehingga dapat diterima dan di-shared antara guru dan murid dengan sebaik-baiknya.
Kegiatan “encoding” dan “decoding” dalam proses belajar-pembelajaran
Dalam setiap kegiatan komunikasi terdapat dua macam kegiatan yaitu “encoding” dan “decoding”. Encoding adalah kegiatan yang berkaitan dengan pemilihan lambang-lambang yang akan digunakan dalam kegiatan komunikasi oleh komunikator (oleh guru dalam kegiatan pembelajaran). Terdapat dua persyaratan yang harus diperhatikan untuk melakukan kegiatan “encoding” ini yaitu :
1dapat mengungkapkan pesan yang akan disampaikan ; dan
2sesuai dengan medan pengalaman audience atau penerima, sehingga memudahkan penerima didalam menerima isi pesan yang disampaikan.
Salah satu kemampuan profesional seorang guru adalah kemampuan melakukan kegiatan “encoding” dengan tepat, sehingga murid-murid memperoleh kemudahan di dalam menerima dan mengerti materi/bahan pelajaran yang merupakan pesan pembelajaran yang disampaikan guru kepada murid.
Sedang kegiatan “decoding” adalah kegiatan dalam komunikasi yang dilaksanakan oleh penerima (audience, murid), dimana penerima berusaha menangkap makna pesan yang disampaikan melalui lambang-lambang oleh sumber melalui kegiatan encoding di atas. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa kagiatan “decoding” ini sangat ditentukan oleh keadaan medan pengalaman penerima sendiri. Keberhasilan penerima di dalam proses “decoding” ini sangat ditentukan oleh kepiawaian sumber di dalam proses “encoding” yang dilakukan, yaitu di dalam memahami latar belakang pengalaman, kemampuan, kecerdasan, minat dan lain-lain dari penerima. Adalah sama sekali keliru apabila di dalam proses komunikasi sumber melakukan proses “encoding” berdasarkan pada kemauan dan pertimbangan pribadi tanpa memperhatikan hal-hal yang terdapat pada diri penerima seperti yang sudah disebutkan di atas, yang dalam hal ini terutama adalah medan pengalaman mereka.
Peranan Alat Peraga dan Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Pembelajaran.
Telah dikatakan di atas bahwa komunikasi (termasuk proses atau kegiatan pembelajaran) dilaksanakan dengan menggunakan lambang-lambang, (symbols), terutama adalah lambang verbal (kata-kata, bahasa). Keuntungan terbesar lambang verbal dalam proses komunikasi (termasuk pembelajaran) adalah sumber dapat memilih lambang secara tidak terbatas untuk menyampaikan pesan kepada penerima, sehingga sumber dapat dengan mudah menyampaikan pesan yang tidak terbatas pula kepada penerima. Berbeda dengan lambang yang lain seperti gambar-gambar, tanda atau isyarat yang hanya mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada penerima. Misalnya untuk menyampaikan pesan yang berkaitan dengan pindah rumah, pindah pekerjaan, memberikan berbagai nasihat, apalagi menyampaikan pesan pembelajaran dalam berbagai bidang studi, tentu saja sangat sulit apabila digunakan lambang-lambang nonverbal.
Namun demikian penggunaan lambang verbal dalam kegiatan komunikasi mempunyai juga keterbatasan atau kekurangan yang harus selalu diperhatikan oleh sumber atau guru sebagai komunikator, yaitu bahwa lambang verbal bersifat abstrak, atau jika menurut kerucut pengalaman (cone of experience) Edgar Dale lambang verbal memberikan pengalaman yang paling abstrak, jika dibandingkan dengan penggunaan lambang visual, gambar diam (still pictures), film dan televisi, penggunaan metode pameran (exhibit), karya wisata, demonstrasi, dramatisasi, pengalaman tiruan (contrived experiences) dan pengalaman langsung.
Oleh karena itu dalam rangka mencapai “sharing” yang diinginkan dalam setiap kegiatan komunikasi (termasuk proses pembelajaran), guru harus selalu menyadari terhadap sifat dan karakteristik yang merupakan kekurangan utama penggunaan lambang verbal yaitu memberikan pengalaman yang paling abstrak, sehingga dapat memberikan hambatan (noise) bagi murid untuk menerima pesan yang disampaikan.
Salah satu cara untuk mengatasi hambatan tersebut, yaitu agar penyampaian pesan pembelajaran dilakukan dengan lebih konkrit dan jelas, selain dengan memilih lambang verbal yang berada di medan pengalaman murid, misalnya dengan menggunakan alat peraga dan media pembelajaran, seperti chart, diagram, grafik (visual symbols), gambar diam (still pictures), model dan “real objects”, film , pita/kaset video, VCD, DVD, dan sebagainya.
Media pembelajaran dapat digunakan dalam dua macam cara dalam proses belajar-pembelajaran, yaitu :
Sebagai alat peraga atau alat bantu pembelajaran ; yang dimaksud disini adalah bahwa alat peraga digunakan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran yang disampaikan kepada murid-murid. Materi yang disampaikan ke murid menjadi bertambah jelas dan konkrit, hingga membuat murid menjadi bertambah mengerti apa yang disampaikan oleh guru. Dengan demikian “sharing” yang diinginkan dalam setiap kegiatan komunikasi (termasuk komunikasi dalam proses belajar-pembelajaran) dapat dicapai. Sebenarnya pentingnya penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran ini adalah merupakan akibat suatu gerakan pada tahun 1920-an di Amerika Serikat yang diberi nama “Visual Instruction” yang dilanjutkan dengan “Audio Visual Instruction Movement” yang mengajak para pendidik untuk menggunakan gambar, chart, diagram dan semacamnya bahkan sampai benda-banda yang nyata dalam proses pembelajaran agar pembelajaran menjadi lebih konkrit untuk dimengerti oleh murid-murid.
Cara kedua, pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar dan pembelajaran adalah sebagai sarana atau saluran komunikasi. Media atau alat peraga dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan pembelajaran, dalam hal ini terutama oleh media belajar mandiri (self instructional materials), seperti modul, Computer Assisted Instruction (CAI) dan sebagainya. Oleh adanya kemampuan sebagai sarana atau saluran komunikasi ini, maka dapat dilaksanakan inovasi dalam jaringan belajar, yaitu apa yang disebut dengan sekolah terbuka, misalnya Universitas Terbuka (UT), SMP/SMA terbuka, BJJ (Belajar Jarak Jauh) dan sebagainya. Pada hakikatnya sekolah terbuka ini memanfaatkan penggunaan media belajar mandiri (self instructional materials) untuk melaksanakan kegiatan belajar siswa dengan bimbingan yang minimal dari guru pembimbing.
Oleh karena penyelenggaraan kegiatan pembelajaran secara tatap muka masih cukup dominan dalam sistem pendidikan di manapun juga, termasuk di Indonesia, maka cara yang pertama penggunaan media pembelajaran, yaitu sebagai alat bantu belajar dan pembelajaran agar penyampaian pesan pembelajaran menjadi bertambah jelas dan konkrit, patut mendapatkan perhatian oleh semua guru disemua tingkatan pendidikan (TK, SD, SLTP, SMA, SMK bahkan juga Perguruan Tinggi). Memang penggunaan alat peraga tersebut makin diperlukan bagi anak-anak usia muda, karena makin muda usia anak, makin bersifat konkrit, berhubung dengan pengalamannya juga masih terbatas.
Gangguan (Noise) Dalam Proses Belajar dan Pembelajaran
Dalam komunikasi dapat dijumpai adanya gangguan (noise) yang dapat menghalangi tercapainya “sharing” yang dikehendaki. Begitu juga dalam proses pembelajaran dapat terdapat “noise” yang dapat menghambat diserapnya pesan pembelajaran yang disampaikan oleh murid. Oleh karena itu, setiap guru harus waspada terhadap hal ini dan berusaha seoptimal mungkin menghilangkan “noise” tersebut. Salah satu gangguan (“noise”) yang dapat menghambat murid di dalam menerima pesan pembelajaran yang disampaikan adalah dari penggunaan lambang (kegiatan “encoding”) yang terlalu sulit dan tidak sesuai dengan medan pengalaman murid. Hal ini dapat dipersulit dan bertambah abstrak karena guru tidak menggunakan alat peraga seperti yang sudah dijelaskan di atas. Gangguan atau “noise” ini menjadi bertambah makin banyak, karena beberapa hal seperti : guru berbicara terlalu cepat, volumenya terlalu lemah/kuat, murid dalam keadaan capai, mengantuk, kelas ribut dan sebagainya.
Sudah seharusnya guru sebagai komunikator berusaha sebaik-baiknya untuk mengurangi, kalau tidak dapat menghilangkan semua gangguan (“noise”) yang mungkin dapat dijumpai dalam penyelenggaraan kegiatan belajar dan pembelajaran.
Umpan Balik (Feedback) dalam Proses Belajar Pembelajaran
Dalam kegiatan komunikasi, termasuk kegiatan pembelajaran, terdapat satu unsur yang harus selalu diperhatikan oleh sumber atau komunikator, yaitu umpan balik (feedback). Umpan balik amat penting dalam kegiatan komunikasi karena yang menjadi tujuan utama kegiatan komunikasi adalah “sharing”, yaitu diterimanya oleh penerima (murid) pesan yang disampaikan sumber.
Untuk itu, sementara proses komunikasi berlangsung, sumber harus selalu berusaha untuk melihat sejauh mana audience telah mencapai pesan yang disampaikan. Upaya untuk melihat sejauh mana audience telah mencapai tujuan yang diinginkan adalah dengan memperoleh feedback (umpan balik) dari murid sendiri. Apakah umpan balik (feedback) itu ?.
Umpan balik (feedback) adalah semua keterangan yang diperoleh untuk menunjukkan seberapa jauh murid telah mencapai “sharing” atas pesan yang telah disampaikan. Keterangan yang dimaksud dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti misalnya pertanyaan murid terhadap materi pelajaran yang disampaikan, jawaban murid atas pertanyaan guru, suasana kelas (seperti gaduh, sunyi, ribut dan lain-lain). Oleh karena itu, guru tidak boleh secara satu arah saja terus menerus menyampaikan pesan pembelajaran kepada murid. Secara periodik guru harus memberikan pertanyaan kepada murid untuk memperoleh feedback tentang bagaimana atau sejauh mana mereka telah dapat menerima (sharing) tentang pesan pembelajaran yang disampaikan. Juga guru perlu melaksanakan pengamatan (observasi) secara berkelanjutan kepada bagaimana partisipasi murid dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Tentu saja guru harus mengambil langkah-langkah perbaikan (remedial) yang bersumber dari hasil feedback yang telah diperoleh, sehingga dengan demikian selalu terjadi peningkatan dan perbaikan dalam penyelenggaraan proses dan kegiatan belajar dan pembelajaran berikutnya.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa proses belajar dan pembelajaran yang sebenarnya merupakan kegiatan komunikasi itu mengisyaratkan para guru untuk selalu menerapkan prinsip-prinsip komunikasi dalam pelaksanaan proses belajar pembelajaran yang dilaksanakan seperti : memilih kata-kata yang sesuai dengan medan pengalaman murid, menggunakan berbagai alat peraga yang dapat mengkonkritkan penjelasan/uraian verbal guru, menghilangkan “noise” sebanyak-banyaknya, memperoleh umpan balik dan sebagainya, sehingga murid dapat menyerap atau memiliki dengan baik pesan-pesan pembelajaran yang disampaikan oleh guru sebagai sumber komunikasi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Heinich, Robert, Michael Molenda, Jamaes D. Russell, Instructional Media and
The New Technologies of Instruction, New York: John Wiley & Sons,
Inc., 1982
Berlo, David K., The Process of Communication, New York: Holt, Rinehart and
Winston, Inc., 1960
Effendy,Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung:
Penerbit Remaja Karya CV, 1986
Dale, Edgar, Audio-Visual Methods in Teaching, New York : Holt, Rinehart and
Winston, 1969
Langganan:
Postingan (Atom)